1. Defenisi
Sinusitis maksila kronis adalah peradangan
kronis pada sebagian atau seluruh mukosa sinus maksila. Adams (1978)
menyebutkan batas waktu sinusitis kronis beberapa bulan sampai beberapa tahun
Menurut Cauwenberge (1983) disebut sinusitis kronis,apabila lebih dari tiga
bulan.
Sebenarnya klasifikasi yang tepat berdasarkan
pada pemeriksaan histopatologik, akan tetapi pemeriksaan ini tidak rutin
dikerjakan. Gambaran patologik sinusitis maksila kronis cukup kompleks dan
ireversibel. Mukosa umumya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau pseudopolip.
Epitel permukaan mengalami deskuamasi, regenerasi, metaplasia , atau epitel
normal dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histologi yang sama.
Pembentukan mikroabses dalam jaringan granulasi dapat terjadi bersama–sama
dengan pembentukan jaringan parut. Secara menyeluruh
terdapat infiltrat sel bundar dan polimorfonuklear dalam lapisan submukosa.
2. Etiologi
Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor
predisposisi infeksi disebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus
yang udem yang dapat menyumbat muara sinus dan mengganggu drenase sehingga
menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan
siklus seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis kronis. Pada keadaan
kronis terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul pada rinitis
alergi, memenuhi rongga hidung dan menyumbat ostium sinus. Selain faktor
alergi, faktor predisposisi lain dapat juga berupa lingkungan. Faktor cuaca
seperti udara dingin menyebabkan aktivitas silia mukosa hidung dan sinus
berkurang, sedangkan udara yang kering dapat menyebabkan terjadinya perubahan
mukosa, sehingga timbul sinusitis. Faktor lainnya adalah obstruksi hidung yang
dapat disebabkan kelainan anatomis, misalnya deviasi septum, hipertropi konka,
bula etmoid dan infeksi serta tumor. Biasanya tumor ganas hidung dan nasofaring
sering disert ai dengan penyumbatan muara sinus.
Etiologi infeksi sinus paranasal pada umumnya
sama seperti etiologi rinitis, yaitu virus dan bakteri. Virus penyebab
sinusitis antara lain rinovirus, para influenza tipe 1 dan 2 serta respiratory
syncitial virus. Kebanyakan infeksi sinus disebabkan oleh virus, tetapi
kemudian akan diikuti oleh infeksi bakteri sekunder. Karena pada infeksi virus
dapat terjadi edema dan hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi
suatu lingkungan ideal untuk
perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari
satu bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab
otitis media. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun ialah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, bakteri anaerob, Branhamella
kataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes.
Selama suatu fase akut, sinusitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang
menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis kronis biasanya berkaitan
dengan drenase yang tidak adekuat maupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka
agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, dimana proporsi terbesar
bakteri anaerob. Akibatnya, biakan rutin tidak memadai dan diperlukan
pengambilan sampel secara hati-hati untuk bakteri anaerob. Bakteri aerob yang
sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun, antara lain Staphylococcus
aureus, Streptococcus viridans, Haebomophilis influenza, Neisseria flavus,
Staphylococcus epidermis, Streptcoccus pneumoniae dan Escherichia coli, Bakteri
anaerob termasuk Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bakteriodaes dan Vellonella.
Infeksi campuran antara organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.
Sumber infeksi yang mungkin dapat menyebabkan
peradangan pada sinus paranasal, antara lain infeksi hidung yang umumnya
menyebar kearah sinus melalui muaranya. Infeksi hidung bisa disebabkan oleh
mikroorganisme patogen atau dapat pula oleh benda asing seperti yang sering
terjadi pada anak-anak. Infeksi gigi, paling sering sebagai penyebab infeksi
sinus maksila terutama infeksi dari rahang atas gigi molar 1,2,3 serta premolar
1 dan 2. Penyebaran infeksi dari gigi ke antrum melalui dua cara, yaitu melalui
infeksi gigi kronis, yang mengakibatkan terbentuknya daerah granulasi pada
mukosa sinus yang menutupi daerah alveolaris, sehingga fungsi mukosa didaerah
tersebut berubah dan aktifitas silia terganggu. Dapat juga perkontinuitatum,
bakteri langsung menyebar dari granuloma kapital atau kantong periodontal ke
sinus maksila. Trauma muka dapat menimbulkan peradangan dengan beberapa cara
yaitu melaui fraktur terbuka, menyebabkan hubungan sinus dengan dunia luar
maupun rongga hidung kerusakan mukosa yang terjadi serta adanya bekuan darah
memudahkan timbulnya infeksi. Dapat pula melalui kontusio sinus, dimana akibat
pukulan yang keras pada pipi akan mengakibatkan kontusio mukosa sinus yang
kadang-kadang disertai ekstravasasi darah ke dalam antum. Keadaan ini
memudahkan terjadi infeksi yang berasal dari hidung. Suatu benda asing di dalam
sinus maupun hidung dapat meyebabkan sinusitis, misalnya pecahan tulang, gigi peluru
dan tampon hidung. Barotrauma dapat juga sebagai penyebab dan sering terjadi
pada penderita sumbatan hidung misalnya, deviasi septum, rinitis alergi selama
dalam penerbangan. Infeksi dari air sewaktu berenang dan menyelam dapat merupakan
faktor penyebab terjadinya sinusitis, sedangkan penyakit umum seperti influenza,
morbili dan pertusis dapat menyebabkan sinusitis pula. Peneumonia yang disebabkan
oleh Pneumococcus sering disertai oleh sinusitis dengan penyebab oleh kuman
yang sama. Hubungan sinusitis dengan penyakit atau kelainan paru, dikenal
sebagai sindrom sinobronkial dan kelainan paru yang bersamaan dengan sinusitis
ialah bronchitis kronis, asma bronkial dan bronkiektasis.
3. Gejala klinis.
Gejala klinis sinusitis maksila kronis sangat
bervariasi , dari ringan sampai berat, dari :
1) Gejala hidung,
a)
Obstruksi hidung, keluhan ini se ring
dirasakan oleh penderita sebelum terjadi
sinusitis, karena adanya rinitis alergi dan polip yang timbul sebelumnya,
b)
Sekret hidung. Pada sinusitis alergi maka
cairan yang keluar bersifat serous kadang-kadang mukoid yang berlebihan. Bila
sekret berubah menjadi mukupurulen, biasanya sudah terjadi proses paradangan
dan bila sekret bercampur darah, terutama unilateral dicurigai adanya
keganasan,
c)
Post nasap drip (ingus belakang hidung),
merupakan gejala yang paling sering ditemukan dan dirasakan sebagai perasaan
kering dari tenggorok, rasa panas di belakang hidung serta rasa tidak nyaman di
mulut,
d)
Epistaksis, disebabkan karena peradangan dan
vasodilatasi pembuluh darah pada mukosa hidung,
e)
gangguan penghidu, ada keluhan kakosmia ,
penderita merasakan bau busuk, bahkan bau dapat tercium oleh orang lain,
biasanya karena kelainan anatomi hidung. Pada sinusitis kronis dengan dasar rinitis
alergi biasanya keluhannya hiposmia sampai anosmia dan kadang-kadang parosmia,
f)
Ekskoriasi sekitar lubang hidung, seringkali
ditemukan pada anak-anak dan dianggap sebagai tanda sinusitis kronis,
g)
Allergic salute, yaitu gerakan punggung
tangan menggosok hidung karena gatal, keadaan ini sering tampak pada anak-anak
dan menimbulkan garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut allergic crease (linea nasalis).
2) Gejala faring.
Rasa kering tenggorok yang disebabkan oleh faringitis
dan tonsillitis.
3) Gejala telinga.
Sinusitis kronis dapat menyebabkan
nasofaringitis, sehingga terjadi edema mukosa dan obstruksi tuba Eustachius dan
kadang-kadang dapat terjadi otitis media serosa kronis karena alergi sebagi
gangguan dasarnya.
4) Nyeri kepala.
Mempunyai sifat khas yaitu nyeri pada pagi
hari dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Hal ini diduga karena penimbunan
sekret dalam rongga hidung dan sinus serta adanya stasi vena pada malam hari,
sedangkan pada siang hari karena posis tegak, drenase baik.
5) Gejala mata.
Berupa keluhan mata gatal dan lakrimasi yang disebabkan
karena obstruksi dan infeksi duktus lakrimalis, sehingga sering terjadi
konjungtivitis. Pada anak terdapat bayangan gelap di bawah mata yang terjadi
karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung, yang disebut allergic
shiners (black eyes of allergy). Dapat timbul Dennise line, yaitu adanya lipatan
(alur) di bawah palpebra inferior oleh karena kontraksi otot polos dibawah
palpebra inferior, gambaran ini tampak sejak bayi dan berhubungan dengan
rinitas alergi dan dermatitis atopi.
6) Gejala Saluran nafas.
Batuk dan kadang-kadang terdapat komplikasi
di paru, berupa bronchitis atau bronkiektasis atau asma bronkial, sehingga
terjadi penyakit sinobronkitis.
7) Gejala Saluran Cerna.
Mukopus yang tertelan dapat menimbulkan gangguan
pencernaan , nausea dan gastritis ringan.
8) Lidah geografik ( geographic tongue). Disebabkan
adanya glositis kronis.
9) Allergic or adenoid faces/sad looking faces.
Bernafas melalui mulut, mulut terbuka, allergic or shiners dan kemungkinan disertai maloklusi
gigi. Hal ini disebabkan alergi dan pembesaran tonsil atau adenoid.
10) Gejala umum, kadang-kadang disertai rasa lesu dan demam yang tidak
begitu tinggi.
4. Diagnosis.
Dalam menegakkan diagnosis sinusitis maksila kronis, pemeriksan
dimulai dari anamnesis, gejala klinis,
diikuti dengan pemeriksaan klinis rutin sampai pemeriksaan khusus.
1) Anamnesis.
Mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. Yang perlu ditanyakan
adanya keluhan alergi hidung, dengan gejala yang paling banyak adalah bersin-bersin
lebih dari 5 kali setiap serangan atau gatal hidung (89,80 %),rinore encer
lebih dari satu jam (87,07%) dan hidung tersumbat (76,19%). Biasanya gejala timbul
setelah ada riwayat kontak dengan alergen tertentu. Perkiraan alergen penyebab,
dari tes kulit alergen-alergen yang memberikan hasil positif bermakna berturut-turut
terbanyak adalah tungau debu rumah (91,19%).debu rumah (73,47%), serpihan
epitel atau bulu binatang (63,95%).
2) Gejala obyektif.
Pada pemeriksaan klinis kronis tidak seberat pemeriksaan sinusitis
akut dan tidak terdapat pembengkakan muka. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior,
mukosa hidung penderita rinitis alergi biasanya basah , pucat atau livid serta
konka tampak membengkak. Jika terdadap infeksi penyerta, sekret dapat
bervariasi dari encer dan mukoid hingga kental dan parulen, sehingga mukosa
menjadi merah dan meradang serta ditemukan sekret kental (pus) pada meatus
medius atau meatus superior. Kadang-kadang tampak polip pada regio etmoid yang
meluas ke meatus superior dan media. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior,
tampak sekret purulen di nasofaring atau permukaaan atas palatum, biasanya
berasal dari sinus parasanal bagian anterior. Gejala khas sinusitis bagian
interior ialah adanya pus yang mengalir melalui ujung belakang konka inferior
dari meatus medius. Pada pemeriksaan faring, tampak pus mengalir melalui
dinding lateral faring, kadang-kadang tampak pembengkakan jaringan
mukosa di lateral faring pada sisi yang sama.
5. Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang sinusitis maksila
terdiri dari :
1) Transiluminasi.
Dapat dipakai untuk pemeriksaan sinus maksila
dan sinus frontal. Pada sinus maksila tampak gambaran seminular infraorbital,
sinar tentang pada pipi dan pupil bercahaya. Pada sinus frontal yang normal
menunjukkan sinar terang pada sinus frontal dan tampak tegas batas antara
rongga dan tulang. Sinus tampak lebih gelap jika di dalamnya terdapat cairan
pus, mukopus, penebalan mukosa dan massa tumor. Jika sinus tampak lebih kecil
dan gelap maka kemungkinan oleh karena trauma, gangguan pertumbuhan, penebalan
jaringan lunak atau penebalan tulang. Transiluminasi tidak mempunyai arti
penting untuk menegakkan diagnosis dan kebenaran diagnosisnya dibandingkan
dengan hasil fungsi sinus hanya 50 % - 68 %. Selain itu jika dibandingkan
dengan pemeriksaan foto Rontgen hasilnya berbeda 15 %.
2) Pemeriksaan radiologik.
Umunya ada tiga posis yang secara rutin dilakukan
. yaitu posisi oksipitomental (Watres), oksitofrontal (Caldwell) dan posisi lateral.
Pemeriksaan radiologi khusus dilakukan jika pemeriksaan radiologi rutin meragukan
atau tidak jelas. Pemeriksaan ini terdiri atas : a) Pemeriksaan radiologi dengan
bahan kontras. Dengan pemeriksaan cara ini dapat diketahui keadaan anatomi dan
fungsi sinus maksila. b) Ultrasonografi (USG). Cukup baik untuk pemeriksaan
sinus karena mudah, murah dan tanpa radiasi. Tetapi beberapa ahli berpendapat
nilai diagnostiknya rendah. c) Computed tomography scanning (CT scan) merupakan
pilihan utama diagnostik penyakit-penyakit inflamasi atau neoplasma sinus
paranasal dan merupakan bagian penting sebagai pemeriksaan penunjang. CT scan yang digabung dengan pemeriksaan
endoskopi hidung, akan memberikan hasil 90 % lebih akurat dibandingkan dengan
pemeriksaan sendirisendiri. d)Magnetic
resonance imaging (MRI). Memberikan gambaran yang lebih baik untuk membedakan
karakteristik dari suatu lesi jaringan.
3) Fungsi sinus maksila selain untuk membantu
diagnosis dapat juga untuk terapi. Trokar yang dimasukkan ke dalam antrum sinus
maksila dapat melalui ostium sinus di meatus medius, fosa kanina, dan meatus
inferior. Pada sinusitis dengan penebalan mukosa, biasanya cairan tidak dapat
keluar karena ostium menjadi sempit atau tersumbat total.
4) Pemeriksaan sinoskopi atau antroskopi
sinus maksila.
Pertama kali dikemukan oleh Hirschmann pada
tahun 1901. Hasil sinoskopi lebih baik dibandingkan dengan hasil radiologik,
karena dapat mengetahui jenis dan perubahan patologik, serta keadaan ostium sinus maksila.
6. Pengobatan
Perubahan pada mukosa sinus dapat bersifat
reversibel dan ireversibel sehingga, pengobatan
sinusitis maksila, terdiri atas :
1) Pengobatan konservatif.
Secara klinis untuk mengetahui keadaan mukosa
yang reversibel sangat sulit, jika pengobatan secara konservatif tidak
berhasil. Pengobatan ini meliputi obat antialergi dan dekongestan, obat
mukolitik untuk mengencerkan sekret ;obat analgetik, untuk mengurangi rasa
nyeri, obat antibiotik, sebaiknya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan
mkirobilogik dan kultur resistensi kuman. Biasanya diberikan antibiotik yang
mempunyai spektrum luas selama 10-14 hari. Termasuk pula pengobatan diatermi,
dengan sinar gelombang pendek (ultra short wave diathermi). Dengan pengobatan ini maka temperatur sinus akan naik antara 1,7 sampai 2,2
C, sehingga akan memperbaiki vaskularisasi sinus maksila. Diatermi dapat
diberikan selama 10 hari dan tidak boleh digunakan dalam keadaan akut.
Memperbaiki lingkungan yang jelek sekitar penderita, lingkungan udara yang bersih,
terutama pada anak-anak dapat membantu mempercepat kesembuhan. Pungsi dan
irigasi sinus maksila termasuk pengobatan konservatif, diperlukan untuk
mengeluarkan sekret dari rongga sinus maksila yang dapat dilakukan melalui
ostium sinus maksila di meatus medius, meatus inferior dan fosa kanina.
Dilakukan maksimal enam kali setiap 2 – 3 hari sekali. Jika terdapat nanah (pus),
berarti pengobatan konservatif tidak berhasil dan dipertimbangkan pengobatan
secara operatif. Kontraindikasi pungsi sinus maksila ialah tidak boleh dilakukan
pada saat ada infeksi akut karena dapat mengakibatkan oesteomielitis dan trauma
pada maksila.
Antrostomi intranasal, yaitu tindakan membuat
lubang pada meatus inferior yang menghubungkan rongga hidung dan sinus maksila,
untuk drainase sekret dan ventilasi sinus maksila. Biasanya dilakukan pada
penderita yang memerlukan irigasi berulang kali dan tidak dapat dilakukan
pungsi sinus dengan anestesi lokal. Antrostomi yang cukup baik ialah yang
diameternya cukup lebar, pemanen dan letaknya serendah mungkin pada dasar
hidung. Bersama antrostomi dapat dilakukan operasi lain yang bertujuan untuk
reseksi septum dan konkotomi.
2) Pengobatan operatif radikal.
Dengan operasi Calddwell-Luc bila kerusakan
mukosa sudah ireversibel dan gagal dengan pengobatan konservatif. Operasi ini
dilakukan dengan membuat sayatan sublabial kurang lebih dari 2 cm diatas sulkus
ginggivobukalis dari insisivus 2 samapi molar 1. Sayatan dilanjutkan sampai
periosteum, kemudian periosteum dilepaskan dan mukosa pipi tarik ke atas.
Selanjutnya dibuat lubang pada fosa kanina dan melalui lubang tersebut mukosa
yang inversibel dibersihkan.
3) Bedah sinus endoskopik fungsional.
Tindakan ini ditujukan untuk membersihkan
kelainan di kompleks ostiomeatal dengan mempergunakan endoskop (teleskop). Hal
ini dilakukan pada sinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh penyebaran
infeksi dari fokus infeksi di sinus etmoid anterior, terutama dari infundibulum
etmoid dan resesus frontal. Ventilasi dan drenase sinus maksila akan terbentuk
kembali melalui jalan alamiah, sehingga setelah beberapa waktu sinus akan
kembali normal, sehingga pembedahan radikal tidak diperlukan lagi.
7. Komplikasi
Sejak ditemukan antibiotik, komplikasi
sinusitis maksila telah menurun secara drastis. Komplikasi sinusitis maksila
kronis yang dapat terjadi ialah 1) Oesteomielitis dan abses subperiostal.
Oesteomielitis maksila jarang terjadi ,
tersering adalah osteomielitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak.
Oesteomielitis sinus maksila dapat menyebabkan timbulnya fistula oroantal yaitu
fistula yang menggabungkan rongga mulut dan sinus maksila. Penyebab terjadinya fistula ini selain karena
komplikasi sinusitis maksila ke dalam juga karena tindakan ekstraksi gigi molar
atas, kista gigi, tumor palatum dan sinus maksila serta trauma pada operasi
gigi atau sinus maksila. gejala klinis berupa keluarnya cairan yang berbau
busuk dari sinus maksila ke dalam mulut. Pada pemeriksaan , bila lubangnya
besar akan terlihat lubang yang menghubungkan rongga mulut dan sinus maksila
tetapi bila lubangnya kecil dapat diperiksa dengan memasukkan udara yang
melewati fistula. Fistula yang baru dan kecil dapat menutup dengan sendirinya.
Bila fistula cukup besar dan kronis perlu tindakan operasi plastik selain
pengobatan sinusitisnya.
2) Kelainan orbita.
Paling sering berasal dari sinusitis etmoid,
kemudian sinusitis frontal dan maksila. penyebaran infeksinya melalui
tromboflebilitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat ditimbulkan ialah
edema palpebra selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan trombosis
sinus kavernosus. Edema palpebra, biasanya dari sinusitis etmoid dan ditemukan pada anak-anak. Selulitis orbita,
edemanya bersifat difus, belum terbentuk nanah (pus) dan isi orbita telah
diinvasi bakteri. Pada abses subperiostal, pus telah terbentuk di antara
periorbita dan dinding tulang orbita, serta menyebabkan proptosis dan kemosis.
Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita.
Tampak gejala neuritis optikus, kebutaan dan bercampur unilateral, keterbatasan
gerak otot ekstraokuler mata yang terserang. Proptosis makin bertambah dengan
tanda khas adanya kemosis konjungtiva. Trombosis sinus kavernosus, komplikasi
ini merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus
kavernosus, sehingga terbentuk suatu tromboflebitis septik. Tampak gejala –
gejala oftalmoplegia, komosis, konjungtiva, gangguan penglihatan yang berat,
kelemahan dan tanda-tanda meningitis karena letak sinus berdekatan dengan saraf
cranial II,III,IV,VI dan otak. Penderita edema palpebra dapat berobat jalan
dengan pemberian antibiotik serta tetes hidung. Penderita tahap selulitis
orbita dan komplikasi yang lebih berat harus dirawat di rumah sakit dan diberi
antibiotik intravena dosis tinggi serta dilakukan tindakan membebaskan pus dari rongga abses. Prognosis pada komplikasi ini, angka kematian sebesar 60-80%. Gejala sisa
trombosis kavernosus seringkali berupa atrofi optikus.
3) Mukokel suatu kista yang mengandung mukus
yang timbul di dalam sinus Kista ini paling sering pada sinus maksila dan
tersering berupa kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Mukokel yang
terinfeksi dan berisi pus disebut piokel. Patogenesisnya dipengaruhi oleh dua
faktor utama yaitu obstruksi dan peradangan. Gambaran klinis sesuai dengan
sinusitis maksila kronis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
radiologik, sinoskopi dan ditemukan pada operasi Caldwell-Luc. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan pemeriksaan histoptologik. Pengobatan dengan eksplorasi sinus
untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi, sehingga drenase sekret dan
ventilasi sinus maksila menjadi baik.
4) Kelainan intrakranial :
Meningitis, abses ekstradural, abses
subdural, abses otak dan tromboss sinus cavernosus.
5) Kelainan paru :
Bronkitis kronis, bronkiektasis dan asma
bronchial. Adanya kelainan sinus paranasal yang disertai
dengan kelainan paru disebut sindrom sinobronkitis.
0 Komentar untuk "SINUSITIS MAKSILA KRONIS"