MAKALAH
KEPERAWATAN
MENDIKAL BEDAH
MIASTENIA GRAVIS
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Miastenia
gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang dapat dijumpai pada anak, orang
dewasa, dan pada orang tua. Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30
tahun. Pada umur dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada
wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996).
Insident miastenia gravis
di Amerika Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa
ahli menganggap angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang
tidak pernah terdiagnosis (Patofisiologi, 1995).
Tingkat kematian pada waktu
lampau dapat sampai 90%. Kematian biasanya disebabkan oleh insufisiensi
pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara drastic sejak
tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan.
Remisi spontan dapat
terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan melakukan timektomi
elektif pada pasien wanita muda yang masih dini keadaannya (5 tahun pertama
setelah awitan) dan tidak berespon baik dengan pengobatan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Miastenia Gravis itu?
2.
Apa sajakah klasifikasi, penyebab dan gejala dari Miastenia
Gravis?
3.
Apa terapi yang harus diberikan pada penderita
Miastenia Gravis?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui definiisi, klasifikasi, penyebab dan
gejala serta terapi yang harus diberikan pada penderita Miastenia Gravis
2.
Agar bisa memberikan edukasi kepada penderita sebelum terjadinya krisis.
1.
Untuk memenuhi tugas dan bahan diskusi mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah ( KMB III )
serta sebagai refrensi dan investasi
perpustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
Istilah
miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis merupakan
satu-satunya penyakit neuro muskular yang merupakan gabungan antara cepatnya
terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10
hingga 20 kali lebih lama dari normal).
Miastenia gravis ialah gangguan
oto-imun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah.
Miastenia gravis adalah suatu
penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka
akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuscular.
2. Klasifikasi
Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi3:
A.
Kelompok I:
Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat
ringan, tidak ada kasus kematian.
B.
Kelompok IIA:
Miastenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka
dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik.
Angka kematian rendah.
C.
Kelompok IIB:
Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut
semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar.
Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan
miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang
memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
D.
Kelompok III:
Miastenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat
disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang
maksimal dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis
miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian
tinggi.
E.
Kelompok IV:
Miastenia berat lanju
Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan
gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara
perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk
3.
Etiologi
Kelainan primer pada miastenia
gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada neouromoscular junction,
yaitu penghubung antar unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor
neuron terdapat partikel- partikel globuler yang merupakan penimbunan
asetilkolin atau (Ach). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel
globuler pecah dan Ach dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi yang
kemudian bereaksi dengan ACh reseptor ( AChR ) pada membran postsinaptik.
Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya
kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot.
Penyebab pasti gangguan transmisi
neuromoskuler pada miastenia gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada
miastenia gravis terdapat kekurangan Ach atau kelebihan kolinesterase, tetapi
menurut teori terakhir, faktor imunologik yang berperanan.
4. Patofisologi
Pada orang normal, bila ada impuls
saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps
mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps.
Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor
asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas
terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng
akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang
akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan
saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu
serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi
melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase.
Pada miastenia gravis, konduksi
neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi
pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya
rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran
presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam
perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain
itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran
postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka
kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada
miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan belum jelas terlihat
karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan
pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia
timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi
menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot
dipergunakan terus-menerus.
Pembuktian
etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus
mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus
yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan
pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat
germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya
5.
Manifestasi Klinis
Miastenia gravis diduga merupakan gangguan otoimun yang merusak fungsi
reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan
ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat.
Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu
saja.
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local
yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33%
hanya terdapat gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya.
Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan
dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan.
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang
menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau
bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan
diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul
setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak
diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat
bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit
tidak terbebas dari kesulitan penglihatan.
Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah
satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat
ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata.
Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun
adakalanya masih bisa bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot
okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit
hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat
ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang
bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus
faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan
regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang
abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan
sebagai tanda rahang yang menggantung.
Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali.
Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan
dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal.
Atrofi otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak
lebih memburuk lagi.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah,
dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi
membersihkan lendir.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat
dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih
atau mengalami eksaserbasi oleh sebab:
a)
Perubahan
keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.
b)
Adanya penyakit
penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi yang
disertai diare dan demam.
c)
Gangguan emosi,
kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan
tegang.
d)
Alkohol,
terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu obat yang
mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya.
6.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan
fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia
gravis. Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan
berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya,
maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:
a.
Antibodi
anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat
berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90%
penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I.
Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
b.
Antibodi
anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan
lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya
tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin,
maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil.
c.
Tes tensilon
(edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat
apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan,
atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga
adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg
intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif
apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit),
menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih
lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih
lama dari 5 menit.
Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding
antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita
sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis,
tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes,
kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit
ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya
muda, sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom
miastenik biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil
diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.
d.
Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk
melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken
tomografik.
e.
Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes
Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di
atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang
terkena menunjukkan ptosis.
f.
Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan
intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala
menghilang dan tenaga membaik.
7.
Terapi
a.
Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara
lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila
diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),
didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan
atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan.
Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90%
dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis
golongan IIA dan IIB.
Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi
dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi
pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu
banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk
menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah
menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar
pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
b.
Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia
gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk
menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan
secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana
halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai
gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada
kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi,
setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk
dapat segera memperoleh perbaikan klinis.
Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada
perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan)
dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian
prednisolon secara mendadak harus dihindari.
c.
Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang
baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama
berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu
harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu
pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon
bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
d.
Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi
dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita
beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase
sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera
diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
e.
Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50
ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.
Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat
bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas
bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita
mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi
miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor
asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
Sepenuhnya bisa didownload disini
0 Komentar untuk "Makalah Keperawatan Medikal Bedah Miastenia Gravis"